Matahari di atas bumi Mekkah sudah tinggi. Langit yang cerah
membentuk kubah memayungi ka’bah. Manusia yang lalu lalang menyembah
berhala di sekitar ka’bah mulai kegerahan. Di balik batu-batu yang
membisu, seorang wanita termenung menyaksikan kaumnya yang dibelenggu
kekafiran. Hatinya bergejolak, mempertanyakan kaumnya yang masih
berpikiran konyol, menyembah berhala yang tak berdaya.
Siapa gadis cantik yang berpikiran cerdas itu? Dia adalah Ummu
Kaltsum. Putri gembong kafir “Uqbah bin Mu’ayyat. Penentang keras agama
Allah dan menyiksa orang-orang lemah, yang selalu mengusik dakwah
Rasulullah dengan hinaan, fitnah, teror, serta aksi-aksi kotor lainnya.
Ayahnya yang memeluk agama Yahudi Safuriyah itu, pernah menginjakkan
kakinya ke leher Nabi ketika beliau sedang bersujud di belakang maqam
Ibrahim.
Dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang lekat dengan kekafiran, tidak
menghalangi Ummu Kaltsum untuk menjadi wanita mukmin. Dia telah diberi
petunjuk oleh Allah SWT sejak turunnya surat Al-Ahzab ayat 45 yang
bermakna, “Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi,
dan membawa kabar gembira serta memberi peringatan.
Setelah hatinya terbuka oleh kebenaran, gadis itu segera mensucikan diri
dari sisa-sisa kepercayaan syirik yang mengendap dengan siraman kajian
Islam. Ummu Kaltsum lalu mempercepat langkah, merapatkan barisan bersama
kelompok pendobrak status quo kekafiran.
Tekadnya sudah bulat untuk menyusul Nabi dan kaum muslimin yang sudah
hijrah ke Madinah. Di tengah malam yang sunyi, ketika
saudara-saudaranya sedang terlelap, ia memacu untanya menuju Madinah. Di
tengah perjalan dia betemu dengan seseorang dari suku Khuza’ah yang
mempunyai niat serupa. Maka berangkatlah mereka bersama-sama menuju
Madinah.
Diam-diam saudara laki-laki Ummu Kaltsum mendengar pelarian adiknya ke
Madinah. Bagai disambar petir, Walid dan Amarah memacu kudanya menuju
Madinah untuk mengejar adiknya. Mereka tiba di Madinah mendahului Ummu
Kaltsum. Dua orang yang masih dibelenggu kekafiran iu segera menemui
Nabi dan memberi peringatan. “Hai Muhammad. Tepatilah perjanjian di
antara kita.”
Saat itu, Rasulullah baru saja mengadakan perjanjian dengan kaum
kafir Quraisy yang terkenal dengan “Perjanjian Hudaibiyah”. Diantara
pasal perjanjian itu ada yang menyatakan, “Jika dari pihak Quraisy
meninggalkan Mekah tanpa izin pimpinannya dan memeluk Islam serta
bergabung dengan kaum Muslim, Muhammad harus mengembalikannya kepada
kaum Quraisy, Namun, bila seorang muslim bergabung dengan kaum Quraisy,
tak ada kewajiban kaum Quraisy untuk mengembalikannya kepada kaum
muslim.”
Mukminah mana yang tidak merasa sedih dan kecewa, bila harapannya
untuk hidup di kota kekasih Allah yang terpendam cukup lama nyaris
sirna. Dengan air mata berderai, mukminah itu memohon kepada Nabi, “Ya
Rasulullah, saya adalah wanita. Anda tahu bagaimana kelemahan wanita
itu.”
Pada saat itu turunlah Firman Allah surat Al-Mumtahanah ayat 10 yang
intinya melarang kaum wanita beriman dikembalikan kepada kaum musyrikin.
Maka Nabi segera memberi jawaban yang tegas kepada Walid dan Amarah.
“Allah telah membatalkan janji itu untuk muslimah, sebagaimana yang
telah kau ketahui. Cepatlah kalian pegi dari sini!” Sejak itu Ummu
Kaltsum hidup di Madinah dalam naungan kasih Allah dan Rasulnya.
Kehadirannya selaku mukminah di kota pertahanan Islam itu menarik
perhatian empat sahabat Nabi. Mereka adalah Zubair bin Awwam, Zaid bin
Haritsah, Abdurrahman bin Auf, dan Amru bin Ash. Keempat pria itu
melamar Ummu Kaltsum untuk dijadikan isteri. Bingung, senang, dan
gembira, itulah yang ada di benak kuntum mukminah yang sedang mekar.
Bagaimana ia harus memilih, mengutamakan salah satu pria kebanggaan
Rasulullah. Andaikata harus memilih Zaid, ia adalah laki-laki yang
sangat disayangi Rasulullah. Dan Zubair? Dia seorang pahlawan penunggang
kuda yang selalu menyambut panggilan Rasulullah sepanjang waktu. Rasul
sendiri pernah memuji Zubair dengan perkataan demikian. “Bagi setiap
Nabi ada hawary (pembantu setia), dan hawary saya adalah Zubair bin
Awwam.”
Sedangkan Abdurrahman bin ‘Auf adalah ahli perdagangan yang menolak
pemberian-pemberian saudaranya dari kaum Anshar. Rasulullah telah
mempersaudarakan antara dia dengan Sa’ad bin Rabi’ di Madinah.
“Saudaraku, saya adalah orang terkaya di Madinah. Ambilah separo dari
hartaku,: kata Sa’ad. “Semoga Allah memberkati keluargamu dan hartamu.
Terima kasih atas semua yang kau tawarkan itu. Lebih baik kau tunjukkan
saja padaku, di mana letak pasar itu?” jawab Abdurrahman.
Setalah Sa’ad menunjukkan letak pasar serta seluk-beluk tentang pasar
itu, Abdurrahman lalu berdagang. Setiap waktu perdagangannya maju
pesat, dengan keuntungan yang melimpah. Seolah-olah setiap batu yang
jatuh di kaki Abdurrahman berubah menjadi emas dan permata.
Siapa pula Amru bin Ash? Nabi pernah berkata, “Mekkah telah
melemparkan kepada kalian potongan-potongan jantung kota Mekkah.” Adapun
yang dimaksud Nabi adalah Amru bin Ash, Khalid bin Walid, dan Utsman
bin Thalhah. Mereka datang ke Madinah, meninggalkan Mekkah untuk memeluk
Islam.
Semua pelamar putri Utbah itu memiliki kualitas tersendiri, sehingga
membuatnya sulit menentukan pilihan. Untuk itu ia datang kepada Utsman
bin Affan, saudaranya dari garis ibu guna meminta nasihat. Tapi Utsman
menyarankan saudara perempuannya itu supaya menghadap Nabi saja.
Berangkatlah Ummu Kaltsum menemui Nabi dan menceritakan
permasalahannya. Ternyata Nabi menyarankan agar memilih Zaid bin
Haritsah. Sebagai mukminah yang taat pada Rasul Allah, Ummu Kpun
melangsungkan pernikahannya dengan putra angkat Nabi itu. Rumah tangga
yang bahagia pun mereka jalani hingga dikaruniai dua orang anak. Namun,
anak-anak mereka yang manis itu diambil oleh Yang Maha Kuasa. Dan tak
lama kemudian, rumah tangga yang mereka bina berakhir.
Berita sedih itu rupanya sampai di telinga Zubair bin Awwam. Rasa
kasihnya untuk wanita mukminah itu bersemi lagi. Usai melewati masa
iddah, Ummu Kaltsum dipinang lagi oleh Zubair. Dengan harapan baru,
putri Uqbah itu berusaha membina keluarga sakinah. Allah mengaruniai
pasangan baru itu seorang anak. Namun, tiba-tiba badai menghantam dan
mengkoyak rumah tangganya. Bahtera perkawinan Ummu Kaltsum dan Zubair
pun terhempas. di tengah kesendiriannya, Abdurrahman bin Auf datang
kepadanya. Ummu Kaltsum meneriman pinangan konglomerat muslim yang
dermawan itu dengan dada lapang.
Ternyata sahabat Nabi ini benar-benar pria yang mengerti bagaimana
menghadapi wanita. Cinta, kelembutan, dan kasih sayang yang diberikan
Abdurrahman membuat hati Ummu Kaltsum senantiasa berseri. Buah asmara
mereka bagaikan dua anak Adam, Ibrahim dan Hamied. Ummu Kaltsum dapat
mempertahankan rumah tangga hingga suaminya meninggal.
Mukminah dari Mekkah yang selalu diikat dan dihiasi oleh ketabahan
ini, rupanya daya tariknya tak lekang oleh waktu. Amru bin Ash, ternyata
belum melupakan cintanya. Laki-laki itu pun datang dan melamar Ummu
Kaltsum. Untuk keempat kalinya, putri Uqbah itu menikah dengan sahabat
Nabi.